Di Balik Masalah Penanggulangan Bencana
Hariadi Kartodihardjo dan Untung Sudadi
(Pengajar Departemen Manajemen Hutan dan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB)
Perdebatan penyebab terjadinya dan rekomendasi mengatasi bencana senantiasa berulang sejalan berulangnya kejadian bencana. Untuk itu media masa telah mengambil peran penting dalam pemberitaan maupun analisa terjadinya bencana. Informasi lapangan, hasil investigasi, serta teori dan konsep terjadinya bencana maupun paradigma pembangunan telah pula dikemukakan untuk menggambarkan kedudukan dan urgensi penanggulangan bencana (disaster management). Masalahnya kemudian adalah bagaimana perdebatan dan informasi tersebut dipergunakan sebagai perbaikan kebijakan dan langkah nyata di lapangan. Jonatan Lassa dalam Kompas (9/1//06) menyebutkan bahwa narasi penaggulangan bencana di Indonesia masih belum menyentuh aspek hak asasi manusia. Banjir yang memiskinkan tidak terlihat narasinya dalam rencana strategis reduksi kemiskinan. Untuk itu, Mutiara Andalas dalam media yang sama menyoroti pentingnya revolusi ekologi agar sampai pada habitus baru manusia untuk merawat ekologi, dan bukan sekedar merehabilitasi korban pasca-bencana. Lalu bagaimana hal seperti itu dapat diwujudkan?
ooo
Penanggulangan bencana merupakan seluruh kegiatan baik sebelum, pada saat maupun setelah bencana terjadi, mencakup pencegahan, mitigasi, kesiap-siagaan, tanggap darurat dan pemulihan (MPBI, Masyarakat Peduli Bencana Indonesia., 2004). Bencana itu sendiri terjadi apabila terdapat ancaman seperti banjir bandang dan masyarakat yang rentan. Belum tentu ancaman menyebabkan bencana, apabila masyarakat tidak rentan, dalam arti mampu mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya tertentu. Dengan demikian, bencana terjadi di satu sisi, akibat pengelolaan sumberdaya alam yang tidak mengindahkan daya dukung lingkungan, dan di sisi lain, akibat pembangunan sosial ekonomi yang dari waktu ke waktu justru meningkatkan kerentanan masyarakat.
Setelah bencana terjadi, biasanya terdapat empat isu penting. Pertama, kerentanan masyarakat semakin menurun. Kedua, pengembalian kepemilikan individu atas lahan-lahan di lokasi bencana. Ketiga, secara fisik kondisi lahan di tempat bencana biasanya masih belum stabil dan belum atau bahkan tidak lagi layak huni. Dan keempat, sumber terjadinya ancaman yang masih potensial dapat berasal jauh dari lokasi terjadinya bencana. Dari keempat isu tersebut ditunjukkan bahwa dampak negatif lingkungan dan pemulihannya memerlukan kebijakan setiap sektor/dinas yang harus koheren dan menjadi tanggungjawab bersama. Tetapi yang terjadi biasanya sebaliknya. Justru tidak ada satupun lembaga yang bertanggungjawab. Perubahan fungsi hutan dari hutan produksi menjadi hutan lindung di beberapa bekas lokasi bencana, misalnya, masih belum dilakukan. Demikian pula belum terdapat program nyata untuk mengatasi hilangnya sumber penghasilan masyarakat. Akibatnya masyarakat tetap merambah hutan akibat sempitnya alternatif pendapatan.
Dengan kondisi buruknya sebagian besar daya dukung lingkungan di Indonesia, dalam jangka pendek, mencegah terjadinya ancaman hampir tidak mungkin. Pemulihan akibat bencana juga masih terkendala. Keduanya akibat pendekatan sektoral dan isi kebijakan operasional di lapangan. Dari sebelas Undang-undang (UU) dan Rancangan Undang-undang (RUU) yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, setiap UU/RUU secara sendiri-sendiri memandatkan ruang kelola, menetapkan batas yurisdiksi, dan membentuk badan atau lembaga. Dengan demikian, kebenaran setiap UU dibatasi oleh ruang kelolanya masing-masing. Terdapat wilayah pengelolaan hutan, wilayah sungai untuk pengelolaan air, wilayah kerja untuk pertambangan minyak dan gas bumi, wilayah usaha pertambangan untuk mineral dan batubara, dan wilayah perikanan. Padahal implementasi kesebelas UU/RUU tersebut berada dalam ruang kelola yang sama, yang seluruhnya berpengaruh terhadap kualitas daerah aliran sungai (DAS) yang sama. Sehingga seluruh kegiatan menghasilkan dampak negatif kumulatif yang dapat merusak daya dukung lingkungan, tanpa dapat dikendalikan oleh masing-masing sektor. Karena setiap sektor mempunyai ukuran kinerja sendiri-sendiri.
Masalah kebijakan operasional dapat diketahui dari pengalaman memfasilitasi kerjasama antar sektor dan dinas-dinas di daerah untuk melindungi daya dukung lingkungan. Pertama, hukum yang semestinya menjadi landasan kepastian, telah melampaui fungsinya. Karena kepastian yang dimaksud sudah mencakup cara, metoda, dan kerangka pikir untuk memecahkan masalah harus tertentu sesuai dengan peraturan. Dengan kenyataan demikian, isi peraturan telah membelenggu pengetahuan dan membatasi ruang lingkup masalah pengelolaan sumberdaya alam itu sendiri. Peraturan telah memproteksi lembaga pemerintah dari kemungkinan kesalahan administrasi yang dilakukannya, tetapi tidak melindungi masyarakat untuk menjalankan pengetahuan, ilmu, dan inovasi di lapangan. Peraturan menjadi simbul kekuasaan dan telah melakukan kekerasan terhadap pengetahuan yang berada dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Akibatnya, kekuatan hukum telah melemahkan kebijakan secara keseluruhan. Masyarakat dan pihak-pihak di luar pemerintah menjadi pasif. Tidak ada prakondisi yang memungkinkan ”bacaan” masyarakat terhadap gejala alam didaya-gunakan. Di pihak lain, informasi dari peta peringatan dini versi pemerintah masih sangat makro bagi lingkungan masyarakat calon korban bencana.
Kedua, di dalam rasionalitas hukum dan hierarki kekuasaan yang menjalankannya tidak terdapat daya nalar untuk memasukkan fakta-fakta lapangan yang memang di luar apa yang harus dipikirkannya. Ini adalah bagian dari ciri rasionalitas birokrasi yang tidak boleh menyimpang dari tugas pokok dan fungsi yang telah ditetapkan. Rasionalitas birokrasi menjadi rasionalitas dengan hasil-hasil keputusan yang senantiasa tertinggal oleh masalah-masalah aktual yang terus berkembang. Kerusakan daya dukung lingkungan adalah fakta di luar jangkauan rasionalitas birokrasi, karena tugas pokok dan fungsinya yang terkotak-kotak. Instansi pemerintah seperti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), misalnya, hanya sebatas memberi informasi dan tidak akan bertindak lebih jauh, khawatir bersinggungan dengan wewenang instansi lain (Kompas, 7/1/06). Dinas di daerah tetap harus memperoleh pendapatan asli daerah dan tidak ada alokasi anggaran untuk pemulihan lokasi bencana.
Ketiga, lembaga pemerintah maupun pemerintah daerah lebih terlihat sebagai the big company dan kepentingannya lebih tercermin dari kumpulan kepentingan individu-individu daripada kepentingan lembaga publik. Ini terlihat dari lemahnya koherensi kebijakan yang dikeluarkan, keberlanjutan kebijakan yang sulit dicapai, maupun keterlibatan individu-individu di pemerintahan dalam konflik pemanfaatan sumberdaya alam. The big company ini seolah-olah terpelihara dalam konstelasi kepentingan politik dan ekonomi yang memang menggunakan hasil eksploitasi sumberdaya alam maupun perbesaran anggaran untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok kepentingan itu. Pengalaman memfasilitasi penyusunan program kerja beberapa kabupaten/kota dalam suatu DAS menunjukkan kenyataan ini. Setelah koherensi program pencegahan dan pemulihan disepakati, ternyata berakhir dengan pelaksanaan program yang lain. Perhitungan John Twigg yang dikutib Jonatan Lassa, bahwa investasi mitigasi banjir Rp 1 akan mereduksi kerugian sebesar Rp 4-5 akibat banjir, meskipun feasible, tidak berlaku.
Ketiga ciri yang menjadi kandungan rasionalitas birokrasi di atas pada akhirnya menjadi penghambat upaya penanggulangan bencana. Sungguh sangat berat untuk mengatasinya, karena persoalan penaggulangan bencana sesungguhnya adalah persoalan birokrasi secara luas. Eko Prasojo dalam tulisannya ”Revitalisasi Administrasi Negara” (Kompas, 4/1/06) menyebutkan bahwa yang diperlukan saat ini adalah merevitalisasi kedudukan, peran, dan fungsi kelembagaan, serta menata kembali sistem administrasi negara dalam hal struktur, proses, sumberdaya manusia, serta relasi antara masyarakat dan negara. Maka, tanpa ada perubahan fundamental terhadap struktur dan fungsi lembaga-lembaga pemerintah, dan perwujudan hak asasi manusia, harapan tetap tipis untuk mewujudkan penanggulangan bencana seperti yang diharapkan. Mudah-mudahan duka bencana yang telah berulang-ulang menjadikan dasar terwujudnya langkah nyata yang diperlukan.
[Kompas, 14 Januari 2006]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar