Kamis, 29 Juli 2010

Politik LOI

Opini di Agro-Indonesia, July 2010



Politik Pelaksanaan LOI Indonesia-Norwegia

Oleh

Hariadi Kartodihardjo


Dosen di Fakultas Kehutanan IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB dan UI, anggota Presidium Dewan Kehutanan Nasional.


Di balik hampir semua peristiwa dan upaya-upaya pelestarian hutan dan pemanfaatan hasil hutan, penetapan dan penggunaan maupun konversi kawasan hutan, terdapat berbagai kepentingan yang melatar-belakanginy a. Setiap kepentingan dikuatkan oleh aktor dan jaringan dengan konsep atau kerangka pikir yang dipegang sebagai asumsi dasar dan penetapan argumen atas kebenaran ide yang dibawanya. Selain itu dilengkapi pula kemampuan memobilisir sumberdaya termasuk dana, serta strategi untuk memperoleh dukungan politik. Demikian pula pengaruh pelaksanaan pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi (REDD), antara lain melalui letter of intent (LOI) antara Norwegia dan Indonesia.

LOI tersebut dilandasi oleh arah pelaksanaan yang kuat. Memberi kesempatan penuh bagi masyarakat adat dan lokal lainnya serta masyarakat sipil untuk terlibat, penguatan peraturan-perundang an, keterlibatan lembaga independen internasional dan pendanaannya, membentuk lembaga yang langsung bertanggung- jawab kepada Presiden, maupun lembaga independen yang akan melakukan monitoring, pelaporan dan verifikasi (MRV).



Belum menyentuh persoalan

Berbagai peristiwa yang menghadirkan perhatian publik tersebut sebenarnya telah terjadi cukup lama. Pada masa LOI antara Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) tahun 1998, kebijakan sektor kehutanan pernah di bawah pengaruh konsensus Washington, sehingga antara lain harus menjalankan lelang konsesi, penghapusan sejumlah pajak dan transparansi informasi. Ketika terjadi penjarahan hutan secara besar-besaran, sebagai bagian dari euforia reformasi, sejumlah lembaga donor memfasilitasi pembaruan kebijakan perhutanan sosial (social forestry) sebagai perwujudan keadilan sosial. Pada saat akar masalah pengembangan perhutanan sosial belum terpecahkan, sudah disusul dengan isu pemberantasan illegal loggin, antara lain melalui instrumen legalitas kayu dan perdagangan. Kini tema pengendalian perubahan iklim menjadi dasar inisiatif baru.

Terlepas adanya berbagai inisiatif di atas, bagi siapapun pengelola dan pengusaha hutan, baik skala besar maupun kecil, perusahaan, individu maupun komunitas, melestarikan hutan dan membangun hutan perlu kepastian kawasan hutan, kepastian usaha, kapasitas pengelolaan, ketersediaan sumberdaya termasuk dana, dan bagi usaha komersial perlu harga komoditas yang menguntungkan, serta pelayanan birokrasi secara efisien. Apabila diketahui bahwa sejak 40 tahun yang lalu, sangat sedikit cerita sukses melestarikan hutan dan membangun tegakan, berarti berbagai inisiatif, argumen dan dukungan politik di atas belum menyentuh kebutuhan para pengelola dan pengusaha hutan.

Hal demikian itu dapat terjadi karena gagasan pembaruan kebijakan pada umumnya tidak dapat dijabarkan secara tepat serta akibat banyaknya konflik kepentingan. Kemungkinan lain penjabaran kebijakan hanya dilakukan oleh elit tertentu yang tidak banyak mengetahui detail persoalan kehutanan di lapangan, sehingga dasar asumsi yang digunakan tidak valid.



Kegiatan illegal

Kementerian Kehutanan (2009) dan Biro Pusat Statistik (2007, 2009) melaporkan bahwa saat ini kawasan hutan seluas 55,93 juta Ha (46,5%) tidak dikelola secara intensif. Antara 17,6-24,4 juta Ha kawasan hutan terdapat konflik, tumpang-tindih klaim hak atas hutan, adanya 19.410 desa di dalam kawasan hutan negara di 32 propinsi, serta ribuan izin sektor lain seperti perkebunan dan tambang. Sementara itu, dengan pendekatan berbeda, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan (2010) melaporkan bahwa laju deforestasi di dalam kawasan hutan negara yang tidak direncanakan (illegal) seluas 792.000 Ha per tahun dari tahun 2003-2006, disebabkan oleh kawasan hutan yang tidak dikelola seluas 483.120 (61%), konversi lahan untuk pertanian dan perkebunan seluas 174.240 (22%), infrastruktur seluas 126.720 (16%) dan penggunaan lainnya 7.920 Ha (1%). Sedangkan luas deforestasi yang direncanakan pada periode yang sama seluas 212.000 Ha.

Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa meskipun banyak faktor penyebab kerusakan hutan, namun ketidak-pastian status kawasan hutan dan lemahnya pengelola hutan di tingkat tapak/lapangan, sebagai akar masalahnya. Fakta demikian juga menunjukkan bahwa ijin tidak resmi menyebabkan deforestrasi empat kali lipat daripada ijin resmi. Ini berarti pengembangan ekonomi wilayah – terutama pengembangan ekonomi berbasis penggunaan kawasan hutan –lebih dibangkitkan oleh kegiatan illegal daripada oleh program pembangunan yang direncanakan.

Kenyataan demikian itu kontradiksi dengan isi LOI di atas, yang menyatakan bahwa harus dilakukan penundaan ijin konsesi baru yang melakukan konversi hutan alam dan lahan gambut, selama 2 tahun ke depan. Saat ini, secara umum, apabila terdapat hutan alam dan lahan gambut belum ada ijin, kemungkinan di lokasi tersebut sudah ada yang menguasai atau aksesibilitasnya sulit, sehingga secara ekonomi tidak layak. Harus diakui bahwa hak menguasai negara saat ini dijalankan dengan cara memberi ijin. Ijin menjadi penting, karena secara hukum dapat digunakan untuk mengeluarkan pihak lain yang tidak berhak. Ijin, dalam batas tertentu, dapat mengendalikan kerusakan hutan dari kegiatan illegal. Oleh karena itu konsekuensi tidak memberi ijin adalah melakukan pengelolaan sumberdaya hutan, yaitu dengan membangun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

Tanpa adanya KPH, pembangunan tegakan hutan juga cenderung gagal. Padahal terkait perubahan iklim tersebut Kementerian Kehutanan mentargetkan penanaman setiap tahun berkisar 1,6 juta hektar sampai 2,2 juta hektar, dan sampai 2020 diharapkan mencapai luas sekitar 21 juta hektar. Dalam hal ini, hasil kajian Pokja Kebijakan Kementerian Kehutanan (2010) terhadap pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan (GERHAN) menunjukkan keberhasilan penanaman cukup tinggi, melebihi 80%, namun tanaman yang hidup hanya sekitar 53%. Dari tanaman yang hidup itu sebagian besar kondisi pertumbuhannya buruk. Rata-rata tanaman yang hidup dan sehat hanya sekitar 42%. Maka diperkirakan tanaman GERHAN yang berhasil hidup sampai berupa pohon hanya sekitar 21% (84*56*42=21% ). Hal ini akibat dilakukan penanaman tetapi tidak dipelihara atau sebab lain, seperti konflik lahan.



Persoalan kelembagaan

Seluruh lembaga Pemerintah/Pemerint ah Daerah sesuai Undang-Undang No. 39/2009 tentang Kementerian Negara maupun Peraturan Pemerintah No. 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah lebih berfungsi mengadministrasikan ijin pemanfaatan sumberdaya alam dan bukan mengelola sumberdaya alam. Reduksi fungsi organisasi tersebut menyebabkan hampir seluruh informasi dan pengetahuan mengenai sumberdaya alam tidak dikuasai pemerintah, melainkan para pemegang ijin.

Meskipun begitu, sangat sulit menembus pembaruan kebijakan mengenai kelembagaan pemerintah, baik dalam pengertian peraturan-perundang an maupun organisasi. Kebijakan penetapan organisasi hanya didasarkan pertimbangan politik dan manajemen pemerintahan semata, sebaliknya tidak memperhatikan karakteristik sumberdaya alam. Dalam banyak kasus yang sudah diteliti, masalah informasi yang asimetrik antara pembuat dan pelaksana kebijakan, justru menjadi ajang negosiasi dalam perijinan. Berbagai bentuk rekomendasi perijinan oleh Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota tidak benar-benar didasarkan pertimbangan ketepatan investasi dengan berbagai dampak positif dan negatif, melainkan menjadi sumber pendapatan tidak resmi. Disamping itu belum ada mekanisme penyelesaian konflik terkait keterlanjuran penggunaan hutan dan lahan. Sejak awal terjadinya perambahan hutan pada umumnya cenderung dibiarkan. Keberadaan 19.410 desa di dalam kawasan hutan yang telah disebut di atas menjadi bukti kondisi demikian itu.

Persoalan kelembagaan juga terkait dengan ketiadaan kebijakan antar sektor untuk menentukan bagaimana pengembangan – terutama perkebunan, pertambangan dan infrastrukur ekonomi – yang memanfaatkan kawasan hutan atau hutan alam dapat sejalan dengan upaya mitigasi perubahan iklim. Lemahnya kelembagaan menyebabkan situasi “zero-sum game”. Tanpa kepastian kebijakan antar sektor terkait pengembangan investasi tersebut, kehutanan berada pada situasi dilematis. Di satu sisi harus mempertahankan fungsi hutan, di sisi lain dianggap konservatif dan anti pembangunan (ekonomi).



Penutup

Jikapun pelaksanaan LOI Indonesia-Norwegia dikoordinasi oleh lembaga yang bertanggung- jawab langsung kepada Presiden, besarnya dukungan politik tersebut tidak serta-merta menjamin keberhasilannya. Kerusakan dan kegagalan penanaman hutan selama ini disebabkan oleh tindakan manusia dan tindakan manusia akibat cara pikir yang digunakannya serta kelembagaan yang mengaturnya. Dengan kata lain, persoalannya build in di dalam kebijakan dan tata-kerja pemerintah itu sendiri, segenap peraturan-perundang an serta perbedaan kepentingan politik yang didukung berbagai aktor dan jaringannya. Maka, sebelum berbagai instrumen dirumuskan untuk melaksanakan LOI tersebut, titik temu untuk mewujudkan keseimbangan konservasi-ekonomi- keadilan sosial atas kekayaan sumberdaya hutan harus diwujudkan terlebih dahulu ■

1 komentar:

  1. Saya sepakat kalau dikatakan hutan kita belum dikelola secara menyeluruh sehingga nilai ekonomi hutan selalu rendah. Problem kepastian status kawasan disertai pengkuan stakeholder lain terhadap kawasan hutan merupakan hal penting mengingat hutan merupakan aset bersama dan untuk kemajuan bersama.
    Hutan bukanlah pagar yang membatasi semua aktivitas ekonomi berbasis sumberdaya alam...Jadi sebelum jauh ngomong tentang persiapan hutan untuk carbon trade marilah kita pastikan hutan yang bebas akan interest yang nantinya kita bisa blunder...thanks

    BalasHapus

Peta Blok 1

file:///C:/xampp/htdocs/webgis/assets/M2HT/Upload/qgis2web_2020_02_06-22_21_32_711125/index.html